9.1.11

Muamalah Yang Baik dalam Masalah Hutang Piutang

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

((مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ))

"Barangsiapa memudahkan kesukaran seseorang maka Allah akan memudahkan baginya di dunia dan akhirat."

Jika engkau melihat seorang yang kesulitan, kemudian engkau memudahkan urusannya, maka Allah akan memudahkan urusanmu di dunia dan akhirat. Misal engkau melihat seseorang yang tidak memiliki harta untuk membeli makanan dan minuman untuk keluarganya, namun dia tidak dalam keadaan darurat (sangat mendesak), maka engkau jika memudahkan urusannya, niscaya Allah akan memudahkan urusanmu di dunia dan akhirat.


Di antara hal itu: jika engkau menuntut seorang yang kesulitan, wajib engkau untuk memudahkan urusannya, karena firman Allah ta'ala:

{وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ}

"Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan." (Al-Baqarah: 280)

Para ulama berkata rahimahumullah: "Barangsiapa mendapati orang yang terlilit hutang dan dalam kesulitan, maka haram dia menuntut piutang darinya, atau meminta kembali piutang darinya, atau engkau membawa urusannya kepada hakim, bahkan dia wajib untuk menunggunya."

Didapati sebagian orang -kita berlindung kepada Allah dari hal itu- dari orang-rang yang tidak takut kepada Allah dan tidak menyayangi para hamba Allah, mereka menuntut orang-orang yang kesulitan dan menyempitkan mereka, membawa mereka kepada pihak yang bertanggung jawab, kemudian mereka menahan, mengganggu, dan menghalangi mereka dari keluarga dan rumah mereka. Semua ini disebabkan kezhaliman. Yang wajib atas seorang qadhi (hakim) jika telah jelas di sisinya perbuatan menyulitkan seseorang, maka wajib dia untuk menghilangkan kezhaliman dari orang itu dan hendaknya berkata kepada orang yang menghutanginya: "Kalian tidak mendapatkan sesuatupun."

Kemudian sebagian orang -kita berlindung kepada Allah dari hal itu- jika mereka mendapati seorang yang terlilit hutang dan dalam keadaan kesulitan, dia membuat tipu daya kepada orang itu dengan menghutanginya kembali dengan riba. Kemudian dia berkata misalnya: "Belilah dari barang dagangan ini dengan tambahan harga, dan bayarkan kepadaku!" Atau dia sepakat dengan orang yang ketiga, dia berkata: "Pergilah berhutang dari si fulan, dan bayarkan kepadaku!" Demikian sampai orang yang miskin ini berada di antara dua orang yang zhalim seperti bola di antara anak kecil yang mempermainkannya. Kita berlindung kepada Allah dari hal ini.

Intinya, wajib kalian jika melihat seseorang menuntut orang yang kesulitan untuk menjelaskan kepadanya bahwa dia berdosa, dan bahwa hal itu haram atasnya, dan wajib dia untuk memberinya tempo, karena firman Allah ta'ala:

{وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ}

"Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan." (Al-Baqarah: 280)

Dan dikawatirkan dia akan disempitkan oleh Allah di dunia, atau di akhirat, atau di dunia dan akhirat semuanya, dan dikawatirkan akan disegerakan hukuman baginya. Dan termasuk hukuman Allah jika dia terus-menerus dalam tuntutannya kepada orang yang kesulitan ini padahal orang itu dalam keadaan susah, karena dia setiap menuntutnya maka dia bertambah dosanya.

Dan sebaliknya: ditemukan sebagian orang -kita berlindung kepada Allah dari hal itu- menunda-nunda hak-hak yang wajib mereka tunaikan, padahal mereka mampu untuk menunaikannya. Engkau mendapatinya didatangi oleh orang yang berhak, kemudian dia berkata: "Besok ya!" Jika dia mendatanginya besok hari, dia berkata: "Besoknya lagi!" terus demikian. Dan telah tsabit dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

((مَطَلُ الْغِنَى ظُلْمٌ))

"Penguluran orang kecukupan (dalam membayar hutang) adalah kezhaliman."[1]

Jika hal itu adalah kezhaliman, maka jam berapapun dan kesempatan apapun yang lewat, padahal dia mampu untuk melunasi hutangnya, maka hal itu tidak menambah selain dosa.




[1] Shahih. HR. Al-Bukhari 2400 dan Muslim 1564.

(Sumber: Syarah Riyadhush Shalihin karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar