28.1.11

Menutupi Aurat atau Aib Kaum Muslimin

Aurat di sini adalah aurat secara maknawi. Karena aurat ada dua: aurat hissi (secara fisik) dan aurat secara maknawi.

Aurat hissi (secara fisik) adalah yang diharamkan untuk dilihat, seperti kemaluan depan dan kemaluan belakang, dan yang semisal hal itu dari perkara yang diketahui dalam ilmu fikih.

Sedangkan aurat secara maknawi adalah aib dan jeleknya akhlak atau amalan.


Tidak diragukan lagi manusia sebagaimana disebutkan cirinya oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:

{إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً}

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)

Maka insan mempunyai dua sifat; zhalim dan kebodohan. Apakah dia melakukan kesalahan secara sengaja, sehingga dia adalah ‘orang yang zhalim’, atau dia melakukan kesalahan karena kebodohan maka dia menjadi ‘orang yang amat bodoh’. Inilah keadaan manusia selain orang yang dijaga oleh Allah ‘azza wa jalla dan diberi taufiq kepada ilmu dan keadilan, maka dia berjalan dengan kebenaran dan menunjuki kepada kebenaran.

Jika merupakan tabiat manusia taqsir (menggampangkan), kekurangan, dan aib, maka wajib sikap muslim terhadap saudaranya untuk menutup auratnya dan tidak menyebarkannya kecuali karena dharurah (perkara yang mendesak)[1]. Jika dharurah mendesaknya kepada hal itu, maka mesti untuk melakukannya. Namun tanpa dharurah, maka lebih utama dan afdhal agar dia menutup aurat saudaranya, karena seseorang itu adalah manusia biasa. Kadang dia keliru karena syahwat -yaitu keinginan yang jelek- atau karena syubhat, dimana tersamarkan kebenaran atas dia, sehingga dia mengatakan kebathilan atau mengamalkannya. Dan mukmin (diperintahkan) untuk menutup aurat saudaranya.

Misalkan engkau melihat seorang berdusta dan menipu dalam jual beli, maka janganlah engkau membongkarnya di antara manusia. Namun nasehatilah dia dan tutuplah aibnya, jika dia diberi taufiq dan mendapat petunjuk serta meninggalkan apa yang dia lakukan, maka itulah yang diinginkan. Jika tidak maka wajib engkau untuk menjelaskan urusannya kepada orang-orang agar mereka tidak tertipu dengannya.

Dan misalkan engkau mendapati seseorang diuji dengan memandang kepada para wanita dan dia tidak menundukkan pandangannya, maka tutuplah aibnya dan nasehati dia, dan jelaskan kepadanya bahwa ini merupakan salah satu panah Iblis. Karena pandangan -kita berlindung kepada Allah- merupakan salah satu panah Iblis yang dia gunakan untuk membidik hati seorang hamba. Jika hamba itu mempunyai pertahanan, Allah akan menjaga dari panah yang dilemparkan setan ke arah hatinya ini. Jika dia tidak memiliki pertahanan, maka dia akan terkena panah ini, dan akan menyeretnya pelan-pelan hingga dia sampai kepada perbuatan fakhsya’ (keji) dan kemungkaran. Kita berlindung kepada Allah dari hal ini. Selama menutupi aurat itu mungkin dan jika membuka aurat saudaramu tidak ada maslahat yang kuat atau kepentingan yang sangat darurat dan mendesak, maka tutuplah dan jangan engkau bongkar.

(Sumber: Syarah Riyadhush Shalihin oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah)




[1] Shahih. HR. Ibnu Majah 2546, Ahmad 2/274 dengan lafadz: “Barangsiapa yang menutup aurat saudaranya ...” dan dishahihkan Al-Albani  dalam Ash-Shahihah 2341.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar