24.7.10

Suka Berderma Termasuk Akhlak Mulia terhadap sesama

Diantara AKHLAK YANG BAIK DALAM BERMUAMALAH DENGAN MAKHLUK adalah engkau mencurahkan kedermawanan (an-nada (الندي)).

An-Nada (الندي) adalah kedermawanan dan murah hati, yaitu engkau mencurahkan kedermawanan dan kemurahan. Kedermawanan tidaklah seperti disangka sebagian orang bahwa itu hanya berupa mendermakan harta saja, bahkan bisa dalam mendermakan jiwa, mendermakan kehormatan, dan mendermakan harta, serta mendermakan ilmu.


Jika kita melihat seseorang menunaikan kebutuhan-kebutuhan manusia, membantu mereka, menghadapkan urusan mereka kepada orang yang tidak bisa mereka hubungi. Dia menyebarkan ilmunya di antara manusia, mendermakan hartanya di antara manusia. Apakah kita menganggapnya ini termasuk akhlak yang baik? Ya. Kita menganggapnya sebagai akhlak yang baik, karena hal itu adalah mencurahkan kedermawanan. Oleh karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

((اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيْئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ))

"Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada, dan iringi kejelekan dengan kebaikan, niscaya akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik."[1]

Dan termasuk mempergauli manusia dengan akhlak yang baik, jika engkau dizhalimi atau engkau dijahati, engkau memaafkan dan berlapang dada. Allah telah memuji orang-orang yang memaafkan manusia. Allah berfirman tentang ahlul jannah:

{الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}

"(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. " (Ali 'Imran: 134)

Dan Allah berfirman:

{وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}

"Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa." (Al-Baqarah: 236)

Dan Allah berfirman:

{وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا}

"Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada." (An-Nur: 22)

Allah juga berfirman:

{فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ}

"Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah." (Asy-Syura: 40)

Setiap manusia berhubungan dengan orang lain, maka mesti dia akan mendapati dari orang lain sesuatu perbuatan jelek. Maka sikapnya tehadap perbuatan jelek ini adalah memaafkan dan berlapang dada, dan mengetahui dengan ilmu yaqin, bahwa dengan dia memaafkannya, dan berlapang dada, serta memberi maaf, akan berubah permusuhan antara dia dengan saudaranya kepada kedekatan, kecintaan dan persahabatan. Allah berfirman:

{وَلاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ}

"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. " (Fushshilat: 34)

[Perhatikanlah wahai orang-orang yang mengetahui bahasa arab, bagaimana datangnya sebuah hasil dengan (إذا) al-fujaiyyah, karena (إذا) al-fujaiyyah menunjukkan kejadian yang segera hasilnya.

{فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ}

"Tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (Fushshilat: 34)

Tetapi tidaklah setiap orang diberi taufik kepada hal itu. Allah berfirman:

{وَمَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ}

"Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. " (Fushshilat: 35)]

Apakah kita memahami dari hal ini bahwa pemaafaan terhadap pelaku kejahatan adalah terpuji dan diperintahkan secara mutlak?

Sebagian orang telah memahami perkataan ini dari ayat tersebut. Tetapi hendaknya diketahui bahwa pemafaan itu akan terpuji jika permaafan itu lebih terpuji. Jika menjatuhkan hukuman lebih terpuji, maka menjatuhkan hukuman lebih utama. Oleh karena itu Allah berfirman:

{وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ}

"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim." (Syura: 40)

Maka Allah menjadikan pemaafan diiringi dengan perbaikan.

Pemaafan mungkin bukan merupakan perbaikan. Kadang orang yang berbuat jahat dan lancang kepadamu adalah orang yang jelek yang dikenal dengan kejelekan dan kerusakan. Kalau engkau memaafkannya sungguh dia akan terus-menerus berada dalam kejelekannya dan kerusakannya. Maka yang lebih utama dalam kondisi ini engkau menjatuhkan hukuman kepada orang ini dengan kesalahannya, karena di dalam hal itu ada perbaikan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

"Perbaikan itu wajib sedangkan pemaafan itu mandub (mustahab). Jika dalam pemaafan itu menghilangkan perbaikan, maka artinya kita mendahulukan perkara yang mandub (mustahab) daripada perkara yang wajib. Dan ini tidak dibawa oleh syariat." Benarlah beliau rahimahullah.



PERINGATAN PENTING

Sesungguhnya aku pada kesempatan ini ingin mengingatkan tentang sebuah masalah yang dilakukan banyak orang dengan maksud untuk berbuat ihsan (baik), yaitu terjadi suatu peristiwa karena seseorang, sehingga karena hal itu orang lain meninggal. Kemudian para wali orang yang meninggal itu datang dan menggugurkan diyat dari pelaku kejahatan yang melakukan peristiwa itu. Apakah perbuatan mereka menggugurkan diyat itu terpuji dan dianggap termasuk akhlak yang baik? Ataukah ada rinciannya dalam masalah itu?

Dalam hal itu ada rinciannya. Maka mesti kita memperhatikan dan memikirkan keadaan pelaku kejahatan ini yang dia menjadi penyebab terjadinya peristiwa itu. Apakah dia termasuk orang yang dikenal dengan kengawurannya dan ketidakpeduliannya. Apakah dia termasuk pelaku yang mengatakan: "Aku tidak peduli menggilas seseorang, karena diyatnya ada di jalan." Semoga Allah melindungi kita dari hal ini.

Ataukah dia merupakan seorang yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa ini padahal akalnya dan pertimbangannya sempurna. Namun Allah ta'ala telah menjadikan taqdir bagi segala sesuatu.

Jika terjadi karena pelaku yang terakhir ini, maka pemaafan pada dirinya adalah lebih utama. Akan tetapi meskipun terjadi dari pelaku yang yang berakal serta penuh pertimbangan, wajib sebelum memaafkan kita melihat: apakah mayit menanggung hutang? Jika orang yang meninggal itu menanggung hutang, maka tidak mungkin kita memaafkan. Walaupun kita telah memaafkan, dan jika kita telah memaafkan maka itu tidak teranggap. Permasalahan ini kadang dilalaikan oleh banyak orang. Kita mengatakan tentang hal itu karena ahli waris menerima kuasa diyat ini dari orang yang meninggal yang tertimpa kejadian itu. Dan kuasa mereka ini tidak hilang kecuali setelah pelunasan hutang, jika orang yang meninggal itu mempunyai hutang.

Oleh karena itu Allah ketika menyebutkan warisan, Dia berfirman:

{مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ}

"(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya." (An-Nisa’: 11)

Intinya bahwa termasuk akhlak yang baik: memaafkan orang lain. Dan ini termasuk dalam bab mencurahkan kedermawanan, karena mencurahkan kedermawanan bisa berupa memberikan sesuatu bisa menggugurkan (hak). Dan memaafkan termasuk menggugurkan (hak).


[1] Shahih. HR. At-Tirmidzi 1987, Ahmad (4/153, 158, 236), dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' 97.

(Sumber: Makarimul Akhlaq oleh Syaikh Muhammad bin  Shalih Al-Utsaimin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar