Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلإِيْمَانِ)) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui seorang lelaki dari golongan kaum Anshar pada saat dia sedang menasihati saudaranya tentang sifat malu. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Biarkan dia, sebab sesungguhnya sifat malu itu termasuk dari keimanan."[1] (Muttafaq 'alaih)
Dan dari Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
((الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ)) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: ((الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ)) أَوْ قَالَ: ((الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ))
"Sifat malu itu tidak mendatangkan kecuali hanya kebaikan."[2] (Muttafaq 'alaih)
Dalam riwayat Muslim disebutkan: "Sifat malu itu baik seluruhnya." Atau beliau bersabda: "Malu itu semuanya baik."
Adab adalah akhlak yang digunakan manusia untuk bersopan santun, dan adab ini mempunyai jenis yang banyak.
Di antaranya: kedermawanan, keberanian, jiwa yang baik, lapang dada, wajah yang berseri-seri, dan yang lainnya masih banyak.
Adab adalah sebuah ungkapan dari akhlak yang digunakan manusia dalam berbudi pekerti, yang manusia itu dipuji karenaya. Diantaranya SIFAT MALU.
Malu adalah sebuah sifat dalam jiwa yang membawa seseorang untuk melakukan perkara yang memperbagus dan memperindah dan meninggalkan perkara mengotori dan memperburuk. Maka engkau mendapatinya jika melakukan sesuatu yang menyelisihi muruah (kehormatan), dia akan malu terhadap manusia. Jika dia melakukan sesuatu perkara yang diharamkan, dia malu terhadap Allah 'azza wa jalla. Jika dia meninggalkan satu perkara wajib, dia malu terhadap Allah. Jika dia meninggalkan perkara yang seharusnya dia kerjakan, dia akan malu terhadap manusia.
Maka malu termasuk dari iman. Oleh karena itu, Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui seorang lelaki dari golongan kaum Anshar pada saat dia sedang menasihati saudaranya tentang sifat malu. Maksudnya bahwa orang ini mendorongnya untuk bersifat malu dan menghasungnya dalam sifat malu. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa sifat malu itu termasuk dari keimanan.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang lain:
((اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً، فَأَعْلاَهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ))
"Keimanan itu ada tujuhpuluh lebih sekian -tiga sampai sembilan- cabang. Paling tingginya ialah ucapan La ilaha illallah dan serendah-rendahnya ialah menyingkirkan gangguan dari jalanan. Dan sifat malu adalah suatu cabang dari keimanan itu."[3]
Jika seseorang mempunyai rasa malu, engkau akan mendapatinya berjalan dengan jalan yang lurus, tidak dengan terburu-buru yang dicela dan tidak dengan malas yang juga dicela. Demikian juga jika dia berbicara, engkau akan mendapatinya tidak berbicara kecuali dengan kebaikan dan dengan ucapan yang baik, dengan adab dan dengan cara yang mulia sesuai dengan yang ia mampu.
Jika dia tidak pemalu, maka dia akan melakukan apa saja yang dia mau, sebagaimana dalam sebuah hadits shahih:
((إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ))
"Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari ucapan kenabian terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu, perbuatlah apa yang engkau suka."[4]
((كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءٍ مِنَ الْعَذْرَاءِ فِي خُدْرِهَا))
Dan dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang sangat pemalu daripada perawan dalam pingitannya”.[5] Perawan adalah wanita yang belum menikah, dan biasanya dia pemalu. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih pemalu daripada perawan yang ada dalam pingitannya. Namun beliau tidak malu dari (menyampaikan) kebenaran, beliau berbicara dengan kebenaran dan menyatakan kebenaran dengan terang-terangan, tidak peduli dengan seorang pun.
Adapun perkara yang tidak membuat terabaikan hak-hak, maka beliau adalah orang yang paling malu. Maka sepantasnya engkau wahai saudaraku untuk memakai sifat malu dan adab serta berakhlak dengan akhlak-akhlak yang baik yang engkau dipuji dengan (keberadaan)nya di antara manusia.
Demikianlah seharusnya seorang mukmin menjadi seorang yang pemalu tidak berjalan serampangan, tidak melakukan perkara yang membuatnya malu, dan tidak melakukan perkara yang menjadikannya tercela dengannya. Namun jika dia mendengar perkara yang tidak dia sukai atau melihat perkara yang tidak dia sukai, maka dia bisa terpengaruh. Dan tidak termasuk kejantanan jika dia tidak terpengaruh dengan sesuatupun. Karena orang yang tidak terpengaruh dengan sesuatupun adalah orang yang pandir yang tidak punya perasaan. Namun engkau terpengaruh dan engkau dihalangi rasa malu untuk melakukan atau mengucapkan perkara yang mungkar.
Kemudian rasa malu tidak boleh menghalangi seseorang untuk bertanya tentang agamanya dalam perkara yang diwajibkan atasnya, karena tidak bertanya tentang agama dalam perkara yang wajib bukanlah termasuk rasa malu, akan tetapi itu merupakan sebuah kelemahan. Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak malu dari kebenaran.
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
(نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ، لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّيْنِ)
"Sebaik-baik wanita adalah wanita Al-Anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk mempelajari dalam perkara agama."[6]
Dulu wanita Al-Anshar datang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang suatu perkara yang para lelaki malu untuk menyebutkannya, maka mesti seseorang bertanya tentang perkara agamanya dan tidak merasa malu.
Oleh karena itu, ketika Ma'iz bin Malik radhiyallahu 'anhu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia datang mengaku berbuat zina, dia mengatakan bahwa dia telah berzina. Kemudian Nabi berpaling darinya. Kemudian dia datang untuk yang kedua kalinya, dia mengatakan bahwa dia telah berzina, lalu beliau pun berpaling darinya. Kemudian datang untuk yang ketiga kalinya dan dia mengatakan bahwa dia telah berzina. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling darinya. Dia ingin bertaubat kepada Allah, maka Allah pun menerima taubatnya.
Ketika dia datang pada yang keempat, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajaknya bicara. Beliau berkata:
((أَبِكَ جُنُوْنٌ؟)) قَالَ: لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: ((أَتَدْرِى مَا الزِّنَى؟)) قَالَ: نَعَمْ، الزِّنَا أَنْ يَأْتِيَ الرَّجُلُ مِنَ الْمَرْأَةِ حَرَامًا مَا يَأْتِي الرَّجُلُ مِنْ زَوْجَتِهِ حَلاَلاً، فَقَالَ لَهُ: ((أَنِكْتَهَا؟))
"Apakah engkau gila?" Dia menjawab: "Tidak, wahai Rasulullah." Dia berkata: "Apakah engkau mengetahui tentang zina?" Dia menjawab: "Ya, zina adalah seorang lelaki mendatangi seorang perempuan secara haram seperti seorang suami mendatangi istrinya secara halal." Kemudian beliau berkata: "Apakah engkau menyetubuhinya/menidurinya?"
Beliau tidak memakai kinayah, bahkan beliau menyatakan dengan terang-terangan di sini padahal ini termasuk perkara yang membuat malu karenanya. Namun kebenaran tidak membuat malu. Beliau bertanya: "Apakah engkau menyetubuhinya/menidurinya?"
قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: ((حَتَّى غَابَ ذَاكَ مِنْكَ فِي ذَلِكَ مِنْهَا، كَمَا يَغِيْبُ الْمِرْوَدُ فِي الْمُكْحُلَةِ وَالرِّشَاءُ فِي الْبِئْرِ؟)) قَالَ: نَعَمْ.
Dia menjawab: "Ya". beliau bertanya: "Sampai itu darimu masuk ke dalam itu darinya, sebagaimana alat pencelak mata masuk dalam botol tempat celak dan tali timba masuk dalam sumur?" Dia menjawab: "Ya."[7]
Ini termasuk perkara yang membuat malu, namun dalam masalah kebenaran, tidaklah membuat malu.
Datang Ummu Sulaim kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau. Dia bertanya:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ، هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ؟ قَالَ: ((نَعَمْ، إِذَا هِيَ رَأَتِ الْمَاءَ))
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak merasa malu dari kebenaran, apakah seorang wanita harus mandi jika dia bermimpi basah?" Beliau menjawab: "Ya, jika dia melihat air (mani)."[8]
Pertanyaan ini kadang membuat malu lelaki untuk bertanya tentang hal itu, apalagi dalam majlis, namun Ummu Sulaim tidak terhalangi oleh rasa malu untuk mengetahui perkara agamanya dan mempelajarinya.
Atas hal ini, maka rasa malu yang menghalangi untuk bertanya tentang perkara yang wajib ditanyakan adalah malu yang tercela. Tidak sepantasnya kita menamakannya malu. Bahkan kita mengatakan: Ini adalah sebuah kelemahan dan sifat penakut. Dan ini dari setan. Maka bertanyalah tentang agamamu dan janganlah engkau malu!
Adapun perkara-perkara yang tidak berkaitan dengan perkara-perkara yang wajib, maka rasa malu itu lebih baik daripada tidak malu.
((إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ))
"Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari ucapan kenabian terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu, perbuatlah apa yang engkau suka."[9]
Dan termasuk yang berseberangan dengan rasa malu adalah perbuatan sebagian orang sekarang di pasar berupa ucapan yang buruk lagi jelek atau perbuatan yang buruk atau yang semisalnya. Oleh karena itu, wajib atas seseorang untuk menjadi seorang yang pemalu kecuali dalam perkara yang wajib untuk dia ketahui, maka dia tidak malu dari kebenaran.
[9] Shahih. HR. Al-Bukhari 6120.
(Sumber: Makarimul Akhlaq oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar