4.7.10

Menerima Hukum-Hukum Allah dengan Cara Menerima, Melaksanakan, Dan Menerapkannya

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah

Termasuk Akhlak yang Baik bersama Allah 'Azza Wa Jalla Seseorang Menerima Hukum-Hukum Allah dengan Cara Menerima, Melaksanakan, Dan Menerapkan
Sehingga dia tidak menolak sesuatupun dari hukum-hukum Allah. Jika dia menolak dari sesuatu hukum-hukum Allah, maka ini adalah akhlak yang jelek bersama Allah 'azza wa jalla, 

  • baik dia menolaknya dengan mengingkari hukumnya,
  • atau menolaknya karena merasa sombong untuk mengamalkannya,
  • atau menolaknya karena mengentengkan beramal dengannya.
Sesungguhnya hal itu meniadakan akhlak yang baik bersama Allah 'azza wa jalla.

Contoh atas hal itu: puasa.
Puasa tidak diragukan bahwa ia dirasa berat oleh jiwa-jiwa, karena manusia meninggalkan kebiasaan padanya, seperti: makan, minum, dan menggauli istri. Dan ini adalah perkara yang berat bagi manusia. Akan tetapi seorang mukmin yang berakhlak baik bersama Allah akan menerima pembebanan (taklif) ini, atau dengan ungkapan yang lain: menerima pemuliaan (tasyrif) ini. Ini sebenarnya adalah sebuah kenikmatan dari Allah. Maka seorang mukmin akan menerima nikmat yang dalam bentuk sebuah pembebanan ini dengan dada yang lapang dan tenang. Jiwanya akan menjadi lapang terhadapnya. Sehingga engkau mendapatinya berpuasa pada hari-hari yang panjang dan sangat panas. Dan dia dengan hal itu ridha dan lapang dadanya, karena dia berakhlak baik bersama Rabbnya, sedangkan orang yang jelek akhlaknya bersama Allah akan menyikapi ibadah ini dengan kebosanan dan kebencian. Kalau dia tidak takut dari perkara yang tidak baik akibatnya, sungguh dia tidak akan berpuasa.

Contoh yang lain adalah shalat.
Shalat tidak diragukan lagi dirasakan berat oleh sebagian orang. Shalat itu berat atas orang-orang munafik, sebagaimana perkataan Nabi 'alaihish shalatu wassalam:
((أَثْقَلُ الصَّلاَةِ عَلَى الْمُنَافِقِيْنَ: صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ))
“Shalat yang paling berat atas orang-orang munafik adalah shalat isya’ dan shalat subuh.”[1]

Tetapi shalat dalam kaitannya dengan seorang mukmin tidaklah berat. Allah ta’ala berfirman:
{وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ * الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاَقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ}
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Rabbnya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (Al-Baqarah: 45-46)

Shalat atas orang-orang ini tidaklah berat, namun mudah dan gampang. Oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَةِ))
"Dan dijadikan penyejuk jiwaku dalam shalat."[2]

Maka shalat adalah penyejuk jiwa bagi seorang mukmin dan merupakan bekal hariannya yang dia gunakan sebagai bekal untuk bertemu dengan Allah ta'ala. Oleh karena ini, seorang mukmin menganggap besar nilainya dan sangat perhatian dengannya, karena shalat itu adalah tiang agama dan perkara pertama yang akan dihisab dari seorang pada hari kiamat.

Maka akhlak yang baik bersama Allah 'azza wa jalla berkaitan dengan shalat adalah dengan engkau menunaikan shalat dalam keadaan hatimu lapang dan tenang dan jiwamu tenang, dan engkau gembira bila engkau masuk di dalamnya. Dan engkau menunggunya jika waktunya lewat. Jika engkau telah shalat zhuhur, engkau merindukan shalat ashar. Jika engkau telah shalat ashar, engkau merindukan shalat maghrib. Jika engkau telah shalat maghrib, engkau merindukan shalat isya'. Dan jika engkau telah shalat isya', engkau merindukan shalat subuh.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Bilal radhiyallahu 'anhu:
((يَا بِلاَلُ أَرِحْنَا بِالصَّلاَةِ))
"Wahai Bilal, gembirakanlah kami dengan shalat!"[3]

Beliau bersabda: "Gembirakanlah kami dengannya", maka sesungguhnya dalam shalat ada kelapangan, ketenangan, dan ketentraman. Tidak sebagaimana yang dikatakan sebagian orang: "Bebaskan kami darinya (أَرِحْنَا مِنْهَا)", karena shalat itu berat atas mereka dan berat atas jiwa-jiwa mereka.
Demikianlah seterusnya engkau menjadikan hatimu bergantung dengan shalat-shalat ini. Maka ini tidak diragukan bahwa hal itu termasuk dari akhlak yang baik bersama Allah ta'ala.

Contoh yang ketiga: pengharaman riba.
Dan ini dalam muamalah, sungguh Allah telah mengharamkan riba atas kita dengan pengharaman yang kuat, dan Allah menghalalkan jual beli bagi kita. Allah berfirman tentang hal itu:
{الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, karena mereka berpendapat: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)

Maka Allah mengancam orang yang kembali kepada riba setelah datang kepadanya larangan dan dia mengetahui hukumnya, maka Allah mengancamnya dengan kekal di neraka. Dan kita berlindung kepada Allah (dari hal itu). Bahkan Allah mengancamnya di dunia juga dengan peperangan, Allah berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ * فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ}
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)

Ini menunjukkan betapa besarnya kejahatan ini dan menunjukkan bahwa riba termasuk dosa besar dan pembinasa.
Seorang mukmin menerima hukum ini dengan lapang dada, ridha, dan pasrah. Sedangkan selain mukmin, dia tidak menerimanya, dadanya sempit karenanya. Kadang dia menyiasati (dengan menggunakan kelicikannya) terhadapnya dengan berbagai macam tipu muslihat. Karena kita mengetahui bahwa dalam riba ada sebuah keuntungan yang diketahui secara pasti dan di dalamnya tidak ada pertaruhan (antara untung dan rugi) apapun. Akan tetapi riba sebenarnya adalah sebuah keuntungan bagi seseorang dan kezhaliman bagi yang lain. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman:
{وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ}
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 279)


[1] Shahih. HR. Al-Bukhari 644, Muslim 651, At-Tirmidzi 217, Abu Dawud 548, An-Nasai 848, dan Ibnu Majah 791.
[2] Shahih. An-Nasai 3949. Shahihul Jami’ 3134.
[3] Shahih. HR. Abu Dawud 4985 dan Ahmad dalam Al-Musnad (5/364), Shahih Al-Jami' 7892.

(Sumber: Makarimul Akhlak)
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar