18.6.10

Allah Sesembahan Yang Maha Tinggi

Oleh: Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu 

Allah yang menciptakan kita, mewajibkan kita untuk mengetahui di mana Dia, sehinga kita dapat menghadap kepada-Nya dengan hati, do’a dan shalat kita. Orang yang tidak tahu di mana Rabbnya akan tersesat, tidak tahu kemana ia menghadap kepada sesembahannya, dan tidak dapat melaksanakan ibadah (penghambaan) kepada-Nya dengan sebenar-benarnya.

Sifat Mahatinggi yang dimiliki Allah atas makhluknya tidak berbeda dengan sifat-sifat Allah yang lain sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits shahih, seperti: mendengar (as-sam’), melihat (al-bashar), berbicara (al-kalam), turun (an-nuzul) dan lainnya.

Aqidah para ulama salaf yang shaleh dan golongan yang selamat (Al-Firqah An-Najiyah) “Ahlussunnah wal Jamaah” adalah dengan mengimani apa yang diberitakan Allah dalam Al-Qur’an dan apa yang diberitakan Rasulnya dalam hadits, tanpa ta’wil (menggeser makna yang asli ke makna yang lain), tanpa ta’thil (meniadakan maknanya sama sekali) dan tanpa tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Hal ini berdasarkan firman Allah :
ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11).

Karena sifat-sifat Allah ini seperti sifat al-uluw (berada di atas makhluk) adalah sesuai dengan keagungan Allah. Oleh karena itu iman kepada sifat-sifat Allah tersebut wajib, sebagaimana juga iman kepada Dzat Allah. Oleh karena itu, Imam Malik ketika ditanya tentang firman Allah: “Allah Yang Maha Pemurah beristiwa di atas Arsy.” (Thaha: 5). Beliau menjawab : Istiwa itu sudah dimaklumi artinya (yaitu : tinggi atau berada di atas), namun bagaimana hal itu tidak diluar batas akal, kita hanya wajib mengimaninya.”
Perhatikanah wahai saudaraku muslim, jawaban Imam Malik tadi yang menetapkan bahwa iman kepada “istiwa” itu wajib diketahui oleh setiap muslim, yang berarti: tinggi atau berada di atas, tetapi bagaimana hal itu hanya Allah saja yang mengetahui.

Orang yang mengingkari sifat Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits –antara lain sifat Mahatinggi Allah mutlak dan Allah di atas langit- maka orang itu berarti telah mengingkari ayat Al-Qur’an dan hadits yang menetapkan adanya sifat-sifat tersebut. Sifat-sifat tersebut meliputi sifat-sifat kesempurnaan, keluhuran dan keagungan yang tidak boleh diingkari oleh siapapun.

Usaha orang-orang yang datang belakangan untuk mentakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat Alah, karena terpengaruh oleh filsafat yang merusak aqidah Islam, menyebabkan mereka menghilangkan sifat-sifat Allah yang sempurna dari dzat-Nya. Mereka menyimpang dari metode ulama salaf yang lebih selamat, lebih ilmiah dan lebih kuat argumentasinya. Alangkah indahnya pendapat yang mengatakan :
Segala kebaikan itu terdapat dalam mengikuti jejak ulama salaf
Dan segala keburukan itu terdapat dalam bid’ah orang yang datang kemudian.

Kesimpulan:
Beriman kepada seluruh sifat-sifat Allah yang telah diterangkan Al-Qur’an dan hadits adalah wajib. Tidak boleh membeda-bedakan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain, sehingga hanya mau beriman kepada sifat yang satu dan ingkar kepada sifat yang lain. Orang yang percaya bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan percaya bahwa Allah itu Maha Tinggi di atas langit sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan tingginya makhluk, karena sifat Mahatinggi-Nya itu adalah sifat yang sempurna bagi Allah. Hal itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam kitabnya dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitrah dan cara berfikir yang sehat juga mendukung kenyataan tersebut.

Nu’aim bin Hammad rahimahullah -guru Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah- berkata: “Barangsiapa yang mentasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk-nya maka dia telah kufur, barangsiapa yang menentang sifat yang ditetapkan Allah pada diri-Nya maka dia telah kufur. Dan tidaklah sifat yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya mengandung tasybih (penyerupaan dengan makhluk).”

(Sumber: Taujihat Islamiyyah Li Ishlah Al-Mujtama’) 
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar