Bersama: Al-Ustadz Usamah Faishal Mahri Hafizhahullah
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنامن يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد
Ikhwati fillah wa abna-i rahimani wa rahimakumullah,
Alhamdulillah, kita banyak bersyukur dan memuji kepada Allah subhanahu wata’ala, atas banyaknya kenikmatan yang telah Ia berikan kepada kita, utamanya kenikmatan iman, kenikmatan hidayah di atas Islam, demikian pula kenikmatan taufiq, yang Ia berikan untuk kemudian kita berada di atas sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang keduanya merupakan kenikmatan besar yang Allah subhanahu wata’ala anugerahkan kepada hamba-Nya, tetapi banyak dari mereka yang tidak menyadarinya.
Ikhwati ahibbah a’azakumullah,
Sesungguhnya kita sebagai seorang muslim ketika menyadari diberikan taufiq oleh Allah subhanahu wata’ala untuk menelusuri jalan ilmu, maka itu pertanda khair (kebaikan) yang Allah berikan kepada hamba-Nya.
ومن يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Dan barang siapa yang Allah inginkan untuknya kebaikan, akan Allah jadikan dia faqih (berilmu, faham) tentang agamanya.” [Muttafaqun ‘Alaihi dari shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma]
Kata ‘khairan' dalam hadits tersebut adalah nakirah dalam konteks syarat, yang berarti menunjukkan keumuman segala bentuk dan makna khairiyyah (kebaikan), serta segala kebaikan duniawi maupun ukhrawi, akan Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada hamba-Nya yang kemudian dipermudah baginya untuk tafaqquh fiddin.
Kalau kemudian niat ini yang ada pada masing-masing kita lillah dan untuk tafaqquh fi dinillah -nas’alullah dzalika (kita memohon kepada Allah yang demikian)-, maka kebaikan itu yang akan Allah subhanahu wata’ala berikan kepada kita walaupun yang lain tersibukkan dengan dunianya.
Disebutkan oleh Al-Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah:
“Kami empat bersaudara (beliau sebutkan nama masing-masingnya), masing-masing punya cita-cita dan keinginan sendiri-sendiri, fulan saudaranya menginginkan harta dunia, maka dia cari pasangan (yakni wanita) yang kaya dari keluarga yang berada, fulan yang lain menginginkan kehormatan duniawi, maka dia mencari istri dari kelurga yang mulia dan terhormat secara duniawi, dan yang lain lagi menginginkan kecantikan … dan seterusnya, maka Allah balas pada masing-masing mereka kebalikannya. Fulan menginginkan harta pada akhirnya kemiskinan justru yang dia dapati sehingga terpuruk dunianya, fulan lain yang mengingikan kehormatan justru dia akhirnya terhina, … dan seterusnya. Adapun aku -kata beliau rahimahullah- menginginkan diin (agama), maka Allah subhanahu wata’ala kumpulkan yang lain untukku.”
Karena agama yang dipentingkan, maka kemudian Allah subhanahu wata’ala berikan pada beliau harta, padahal semula tidak beliau inginkan dan tidak ada di niat beliau untuk itu. Allah juga berikan kehormatan dan kemuliaan duniawi sebelum akhiratnya, padahal itu juga bukan tujuan beliau.
Tetapi demikianlah balasan bagi orang-orang yang mementingkan iman dan agamanya, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan:
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ - وفي رواية: بَثَّهُ وَسَدَمَهُ - جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barang siapa yang akhirat itu menjadi sesuatu yang dia pentingkan dari segalanya, -dalam riwayat yang lain: sesuatu yang menyibukkan dan menyita dia dari segalanya, dan dia korbankan dirinya untuk akhirat tersebut-, maka Allah cukupkan hatinya dan Allah satukan untuk perkaranya, dan datang dunia itu padanya dalam keadaan dunia itu yang terhina.” [HR. At-Tirmidzi dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu]
Karena layaknya orang yang mencari dan mengejar dunia, sehingga dia yang menghinakan diri di hadapan dunia itu. Tetapi balasan bagi orang mu’min yang mementingkan agamanya, dunia itu yang datang mengemis untuk dia terima dalam keadaan terhina.
Ikhwati fillah a’azzakumullah,
Tentunya perkara iman dan ilmu, telah ma’ruf (diketahui) oleh antum semua tentang keutamaannya. Bagaimana pujian Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap ilmu dan ahlul ilmi (orang-orang yang berilmu). Keutamaan-keutamaan itu menuntut dari setiap muslim untuk menjaga keikhlasannya, agar dia mendapati apa yang Allah janjikan kepadanya. Yakni keikhlasan kepada Allah dan untuk Allah semata, karena itu adalah perintah Allah kepada segenap hamba-Nya.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” [Al-Bayyinah: 5]
Keikhlasan dengan membenahi segala ucapan dan amal perbuatan kita, yang tampak maupun yang tidak tampak. Ishlahul bathin (upaya membenahi batin / yang ada di dalam diri kita). Keikhlasan kepada Allah, ketaqwaan kepada-Nya, serta menyadari dan yakin bahwa dia selalu diawasi oleh Allah subhanahu wata’ala. Itulah yang akan membenahi pribadi seorang muslim.
Oleh sebab itu seseorang pasti tidak luput dari dua keadaan:
- mungkin dia bersama yang lain,
- atau dia sedang dalam keadaan sendiri dan tidak ada yang bersamanya.
- mungkin dia bersama yang lain,
- atau dia sedang dalam keadaan sendiri dan tidak ada yang bersamanya.
Kedua-duanya membutuhkan taqwallah dan keikhlasan kepada-Nya.
Ketika bersama orang lain, dia menjaga ikhlas dan taqwa kepada Allah agar tidak menzhalimi mereka dan tidak menyalahi syari’at Allah. Maupun ketika dia sendiri, agar kemudian dia tidak melanggar apa yang telah Allah subhanahu wata’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepadanya.
Di situlah kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memohon selalu kepada Allah subhanahu wata’ala sebagaimana di dalam hadits:
وَأَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
“Dan aku memohon kepada-Mu ya Allah agar takut kepada-Mu, di kala sendiri maupun ketika bersama orang lain.” [HR. An-Nasa’i dari shahabat ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu]
Di manapun hamba itu berada, kapanpun dia (sendiri ataupun bersama orang lain), kalau batinnya telah dia benahi dengan iman, ilmu, dan amal shalih, maka dia menjadi seorang yang mukhlis lillah dan bertaqwa selalu kepada Allah ‘azza wajalla, dia tidak akan melakukan sesuatu yang bisa menzhalimi dirinya sendiri ataupun menzhalimi orang lain.
Itulah yang selalu diingatkan oleh para ulama salaf rahimahumullah, kata Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah:
“Ingatlah kalian selalu kepada Allah, bertaqwalah kalian selalu kepada Allah untuk selalu membenahi batin kalian, karena tidak akan bermanfaat keshalihan (kebaikan) secara zhahir (yang tampak) sementara batinnya rusak.”
Ikhwati fillah rahimani wa rahimakumullah,
Dunia ini adalah sesuatu yang sering -dan memang tabi’atnya- membuat orang lalai dari akhiratnya dan lalai dari Allah subhanahu wata’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan tentang dunia ini:
الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا
“Dunia ini terlaknat, dan terlaknat segala yang ada padanya, kecuali dzikrullah dan yang menyertai dzikrullah (atau penafsiran ulama lain: dan segala yang menambah kedekatkan seorang hamba kepada Allah), seorang yang berilmu, dan seorang yang sedang dalam proses mempelajari ilmu.” [HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
Laknat -yang bermakna dijauhkan dari rahmat Allah- terhadap dunia bersifat umum, karena lafazhnya menunjukkan mubtada’ dan khabar, sehingga maknanya bahwa dunia semuanya/secara umum dan seisinya semuanya adalah terlaknat.
Karena tabi’at dunia yang melalaikan hamba dan menjauhkan hamba dari Rabbnya, sehingga kemudian membuat seseorang melanggar dan menyalahi syari’at Allah, maka terlaknatlah dunia dan seisinya semuanya.
Hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kecualikan tiga hal:
1. Dzikrullah dan yang menyertai dzikrullah (atau penafsiran ulama lain: dan segala yang menambah kedekatkan seorang hamba kepada Allah)
2. Seorang yang berilmu,
3. Seorang yang sedang dalam proses mempelajari ilmu.
Tiga inilah yang akan selamat dan diperkecualikan dari laknatnya dunia seisinya dan seluruh yang ada padanya.
Al-Imam Ath-Thibi rahimahullah menerangkan bahwa apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan: “wamaa waalaah” dari pengecualian yang pertama (kecuali dzikrullah dan segala yang menambah kedekatkan seorang hamba kepada Allah) ini bersifat umum dan luas, temasuk di dalamnya itu ilmu dan ta’allum, sehingga orang alim maupun muta’allim telah masuk di dalam keumumannya. Akan tetapi keduanya disebut secara khusus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari keumuman ‘wamaa waalaah‘ adalah termasuk dari bab dzikril khash ba’dal ‘am (penyebutan sesuatu yang khusus setelah penyebutan yang secara umum), dan ini menunjukkan keutamaannya, penting, dan besarnya nilai ilmu, orang alim, dan muta’allim. Sehingga dari sekian banyaknya perkara yang mendekatkan kepada Allah subhanahu wata’ala, hanya dua perkara ini yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan secara khusus, yakni orang yang berilmu dan yang mempelajari ilmu.
Ini juga menunjukkan bahwa merekalah golongan yang berada pada derajat tertinggi dari hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala dan ilmu itu merupakan sesuatu yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah. Dan hadits ini pula menunjukkan bahwa manusia selain mereka (alim dan muta’allim) adalah hamaj (orang yang sudah tidak ada gunanya di dunia ini / sia-sia keberadaan mereka di dunia ini, keberadaan mereka sama dengan ketidakadaan mereka).
Manusia selain alim dan muta’allim adalah orang yang sudah tidak ada gunanya di dunia ini / sia-sia keberadaan mereka di dunia ini, keberadaan mereka sama dengan ketidakadaan mereka.
Ikhwati a’azakumullah,
Tentunya ilmu menuntut dan mengajarkan kepada kita untuk selalu menjaga keikhlasan kepada Allah. Al-Imam Ibnu ‘Uyainah rahimahumullah sebutkan:
“Aku tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih berat dari pada niatku sendiri, kerena dia berbolak balik terus.”
Niat itu perlu pembenahan terus menerus dari sisi hamba, kalau layaknya hafalan perlu dimuraja’ah, maka niat jauh lebih dari itu karena cepat sekali perubahannya. Dan ini adalah ucapan seorang imam yang jauh di atas kita keimanannya, keilmuannya, amal shalihnya. Ini semua menunjukkan bahwa seorang hamba itu hendaknya terus dan butuh selalu untuk ishlah (membenahi dirinya).
Selain itu, ilmu juga menuntut dari kita untuk beradab dan berakhlak, agar kemudian ilmu itu bermanfa’at dan barakah. Bahkan salaf rahimahumullah sangat mementingkan adab sebelum ilmu, banyak atsar atau riwayat dari mereka yang menunjukkan tentang hal ini.
Di antara perkataan a-immatussalaf kepada anaknya adalah:
يا بني لأن تتعلم باباً من الأدب أحب إليَّ من أن تتعلم سبعين باباً من أبواب الفقه
“Wahai anakku satu bab kamu pelajari tentang adab maka itu jauh lebih aku cintai daripada kamu pelajari tujuh puluh bab dari fiqih (dari ilmu).”
Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah bahwa mereka (as-salafush shalih) melakukan rihlah (perjalanan) untuk mempelajari adab selama dua puluh tahun lamanya, kemudian mereka rihlah mencari ilmu selama sepuluh tahun.”
Adab yang dengannya seorang thalibul ilmi harus menjaga dirinya, keilmuannya, imannya bahkan kepada Allah subhanahu wata’ala telah diringkas oleh sebagian ulama, di antara yang mereka sebutkan adalah:
1. إِيْمَانٌ عَمِيْقٌ (keimanan yang dalam)
yakni keimanan yang besar, keikhlasan, dan ketaqwaan kepada Allah. Kalau seperti itu yang ada pada seseorang, maka akan ringan segala beban-beban duniawi yang ada di hadapannya. Dia mungkin tidak mendapati ini dan itu dari perkara-perkara yang didapatkan oleh ahlud dunia, ringan baginya dan merasa tidak ada problem dan beban yang berat. Ketika mendengar si fulan mendapatkan ini, si fulan sudah begini dan sudah begitu dari urusan dunia, maka ketika keikhlasan itu telah tertanam dalam dirinya, apa yang menimpa dia menjadi ringan. Dalam jalannya fi thalabil ilmi, bukan beban berat yang membuat dia frustasi, atau kemudian futur (malas) dan kendor semangatnya dalam thalab, kalau keikhlasan itu yang ada pada dirinya.
2. Ilmu yang dia pelajari
yakni ilmu yang luas, yang dengan ilmu itu dia akan terbenahi sedikit demi sedikit, terangkat kejahilannya, dan tergantikan oleh ilmu dalam kehidupan dia sehari-hari.
3. خُلُقٌ وَثِيْقٌ (akhlaq yang kuat)
yang dengan itu terjaga iman dan ilmunya. Akhlaq yang kuat ini akan tampak ketika seseorang menghadapi cobaan dan masalah. Ketika kemudian dia dihadapkan pada ujian tertentu, di situ akan tampak apakah dia orang yang berakhlaq, menjaga adabnya, dan tidak melalaikan akhlaknya, ataukah sebaliknya.
Ikhwati fillah rahimani wa rahimakumullah,
Demikianlah hendaknya kita selalu membenahi diri bersamaan dengan kita menambah keilmuan dan hafalan kita. Kita benahi terus diri kita, iman, ilmu, dan juga amal shalih.
Ini penting bagi seorang mukmin untuk selalu dia rawat dan dia jaga pembenahan iman, ilmu, dan amal shalihnya. Para ulama rahimahumullahu ta’ala selalu menasihatkan dan memberikan wasiat kepada kita khususnya thulabul ilmi, untuk selalu muraja’ah kepada dirinya, membenahi apa yang ada pada dirinya dari segala macam kekurangan dalam perkataan maupun amal perbuatan.
Maka jika seorang thalib mementingkan perkara-perkara tersebut, insya Allah dan itu janji Allah yang pasti, akan dia dapati apa yang telah Allah subhanahu wata’ala sebutkan tentang keutamaan-keutamaan ilmu dan ahlul ilmi.
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah angkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan yang diberikan ilmu di antara mereka.” [Al-Mujadilah: 11]
قل هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون
“Katakan apakah sama orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu.” [Az-Zumar: 9]
Tentunya tidaklah sama keutamaan dan kemuliaan mereka di sisi Allah subhanahu wata’ala.
Sehingga banyak-banyaklah masing-masing kita untuk bertadharru’ kepada Allah dan meminta selalu kepada-Nya untuk membantu menghadapi kejahatan diri kita dan kejelekan amalan kita, karena masing-masing diri kita ada kejahatannya, dan amalan kita pun ada kejelekannya, seperti dalam khuthbatul hajah yang ma’ruf:
ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا
“Kita berlindung diri kepada Allah dari kejahatan diri kita dan dari kejelekan amal perbuatan kita.”
Mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala terus dan selalu memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita, agar kita dijadikan termasuk orang-orang yang berilmu dan bermanfaat ilmunya, serta mengamalkan ilmu tersebut.
Kata Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu:
لا تكون بالعلم عالما حتى تكون به عاملا
“Tidak akan kamu teranggap alim dalam ilmu sampai kamu mengamalkan apa yang telah kamu ketahui.”
Ilmu yang barakah dan bermanfa’at akan berguna bagi orangnya, ilmu itu akan membenahi dan mengubah dirinya, kehidupannya, tutur katanya, akhlaqnya, perbuatannya, muamalahnya. Itu semua akan terbenahi dengan ilmu walaupun sedikit ilmu yang ada padanya sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Imam Ibnu Rajab, dan banyak para ulama salaf yang lain rahimahumullah.
Ilmu adalah sesuatu yang bisa membenahi diri orangnya, dia paham terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan mengerti apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta kemudian dia amalkan ilmu tersebut pada dirinya walaupun sedikit ilmunya, daripada orang yang banyak ilmunya, banyak yang dia ketahui, tetapi tidak ada perubahan dan pembenahan pada dirinya. Maka inti yang lebih diinginkan adalah pengamalan dari ilmu, apakah itu bisa membenahi kehidupan dan diri seseorang ataukah tidak. Di situlah letak barakah dari sebuah ilmu.
Dan ini semua perlu istia’nah kepada Allah (meminta pertolongan kepada Allah), karena segala sesuatu itu hanya dari-Nya. ‘Ubudiyah dan Istia’nah semuanya dari Allah, manusia itu kata Al-Imam Ibnul Qayyim membutuhkan dua perkara:
Yang pertama, untuk mengenali sesuatu yang bermanfaat baginya,
dan yang kedua untuk mengenali sesuatu yang madharat baginya,
dan untuk mengenali itu semua tidak akan bisa dia lakukan kecuali dia harus memahami mana yang manfaat dan mana pula yang madharat, dan ini semua butuh kepada ilmu. Bagaimana kamu melakukan sesuatu yang bermanfaat sementara kamu sendiri belum tahu apa yang manfaat itu, bagaimana kamu hendak menghindar dari sesuatu yang kamu anggap madharat sementara kamu belum mengerti apa yang madharat itu. Maka ini semua butuh kepada ilmu dan juga wasilah untuk mengenalkan kepada kamu mana yang bermanfaat dan mana pula yang bermadharat.
Selain itu, dia juga butuh kekuatan untuk mempelajari dan mengenali sesuatu yang bermanfa’at agar kemudian dia amalkan, dia perjuangkan, dan dia dakwahkan, juga butuh kekuatan untuk mempelajari dan mengenali sesuatu yang bermadharat agar kemudian dia benci dan dia tinggalkan. Itulah rahasia yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan di dalam ayat-Nya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah dan hanya kepada kamu pula kami meminta pertolongan.” [Al-Fatihah: 5]
Istia’nah kepada Allah (meminta pertolongan hanya kepada Allah semata), karena tidak akan ada yang bisa membantu kita untuk mencapai itu kecuali Allah, manfaat seluruhnya hanya di tangan Allah. dan madharat pun semuanya juga dalam kekuasaan Allah subhanahu wata’ala.
Maka seorang hamba hendaknya selalu kembali kepada Allah subhanahu wata’ala dalam segala urusannya, baik di dalam memohon sesuatu yang bermanfa’at bagi dirinya, maupun permohonan agar terhindar dan selamat dari yang madharat.
Inti dari itu semua adalah membutuhkan ilmu dari masing-masing kita dan kemudian mengamalkan ilmu tersebut, agar kita dijadikan oleh Allah subhanahu wata’ala lembah yang luas, lembah yang dalam, untuk menampung ilmu, karena ilmu itu diumpamakan seperti hujan dan air yang bermanfa’at:
فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا
“Maka lembah itu mengalirkan air dengan kapasitasnya masing-masing.” [Ar-Ra’d: 17]
Ada lembah yang dalam, besar, dan luas, maka tampungannya besar. Ada pula lembah yang dangkal, kecil, dan sempit, maka hanya sebatas itu dia mampu menampung air, dan hanya sebatas itu pula dia mampu memberikan manfa’at bagi orang lain.
Begitu pula manusia, semakin dia luas, dalam, maka semakin banyak mendapatkan manfa’at dan semakin banyak pula dia memberikan manfa’at itu kepada orang lain. Namun masing-masing orang berbeda-beda satu dengan yang lain dalam kapasitas keilmuan dan manfa’at yang bisa dia berikan kepada orang lain.
وفقكم الله لما يحب ويرضى ونسأل الله لنا ولكم التوفيق والسداد لما يحب ويرضى
والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
سبحانك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك. والحمد لله رب العالمين
Ditranskrip dengan edit beberapa kalimat tanpa mengubah maknanya oleh tim redaksi www.assalafy.org -jazahumullah khairan-
(Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=496 - MUHADHARAH BERSAMA AL-USTADZ USAMAH MAHRI)
(Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=496 - MUHADHARAH BERSAMA AL-USTADZ USAMAH MAHRI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar