30.9.10

Menyambung Hubungan Kekerabatan

Di antara akhlak yang mulia: Engkau menyambung tali silaturrahmi dari para kerabat yang telah memutuskannya, yang wajib engkau menyambung tali silaturrahmi dengan mereka. Jika mereka telah memutuskannya, maka sambunglah kembali tali tersebut. Dan janganlah berkata: "Siapa yang menyambung (silaturrahmi) denganku, aku pun akan menyambungnya juga!" Karena hal ini bukanlah termasuk menyambung silaturrahmi, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
((لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، إِنَّمَا الْوَاصِلُ مَنْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا))
"Bukanlah orang yang menyambung tali silaturahmi itu orang yang membalas setimpal, akan tetapi orang yang menyambung tali silaturahmi adalah yang tetap menyambungnya meskipun silaturahmi itu diputus (oleh orang-orang)."[1]
Jadi orang yang menyambung silaturrahmi adalah orang yang bila hubungannya diputus, dia tetap menyambungnya.
Ada seorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً، أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُوْنِي، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُوْنَ إِلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُوْنَ عَلَيَّ! فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّـمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيْرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ))
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai kerabat, aku terus menyambung silaturahmi dengan mereka sedang mereka memutuskannya, aku pun berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka berbuat jelek kepadaku, aku juga bersabar terhadap mereka sedangkan mereka berbuat jahil (buruk) kepadaku." Lalu beliau bersabda: "Jika engkau seperti yang telah kau katakan, seakan engkau telah memasukkan debu panas pada diri mereka, dan engkau akan terus diiringi penolong dari Allah atas mereka selama engkau terus berbuat demikian."[2]
"Engkau telah memasukkan debu panas pada diri mereka" artinya: seakan engkau meletakkan debu atau abu panas di mulut-mulut mereka.
Jika menyambung tali silaturrahmi dengan orang yang telah memutuskannya termasuk akhlak yang mulia, maka begitu menyambung tali silaturahmi dengan orang yang menyambungnya juga termasuk dalam akhlak yang mulia. Karena seseorang yang menyambung tali silaturahmi denganmu bersamaan keberadaan dia adalah kerabatmu, maka dia mempunyai dua hak: hak kekerabatan dan hak untuk mendapat balasan setimpal.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
((مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوْفاً فَكَافِئُوْهُ))
"Barangsiapa berbuat ma'ruf kepadamu, maka balaslah dia."[3]
Dan begitu pula, wajib engkau memberikan (hak) orang yang menahannya, yakni tidak memberikannya. Dan janganlah engkau berkata: "Dia tidak memberikan (hak)ku maka aku juga tidak akan memberikan (hak)nya."
Kemudian hendaknya engkau memaafkan orang yang menzhalimimu, yakni orang yang mengurangi hakmu, baik dengan memusuhimu ataupun dengan tidak menunaikan kewajibannya kepadamu.
Dan kezhaliman itu berkisar pada dua perkara: permusuhan dan penentangan.
Entah ia memusuhimu dengan memukul, mengambil harta, dan merusak kehormatan anda. Ataupun ia menentang anda, sehingga mencegah dirimu mendapat hakmu. Dan kesempurnaan seseorang hendaknya ia mau memaafkan orang yang menganiayanya. Akan tetapi pemaafan tersebut ketika ia mempunyai kemampuan untuk membalas. Maka engkau memaafkan bersamaan engkau mempunyai kemampuan untuk membalas karena disebabkan oleh beberapa perkara:
Pertama: Mengharapkan ampunan dari Allah 'Azza wa Jalla dan rahmat-Nya. Karena orang yang mau memberi maaf dan mengadakan perbaikan, maka pahalanya (menjadi tanggungan) Allah.
Kedua: Untuk memperbaiki kasih sayang yang telah terjalin di antara engkau dan sahabat anda. Karena jika engkau membalas kejahatannya dengan kejelekan, tentu akan terus berlangsung permusuhan di antara kalian berdua. Tetapi kalau engkau membalas kejahatan dengan kebaikan, ia akan kembali berbuat baik kepadamu dan juga ia akan merasa malu kepada anda.
Allah Ta’ala berfirman:
{وَلاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ}
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34)
Maka memaafkan di saat punya kekuasaan/kemampuan termasuk akhlak yang mulia. Namun dengan syarat-syarat bahwa pemaafan itu harus merupakan perbaikan. Jika pemaafan tersebut mengandung pengrusakan, maka dia tidak dianjurkan untuk memaafkan. Karena Allah menetapkan syarat. Allah berfirman:
{فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ}
"Maka barangsiapa memaafkan dan mengadakan perbaikan.” (Asy-Syuura': 40)
Yaitu pemaafan itu merupakan perbaikan. Adapun jika pemaafannya mengandung pengrusakan atau menjadi sebab pengrusakan, maka dalam hal ini kita mengatakan kepadanya: "Janganlah engkau memaafkannya!" Misalnya memaafkan pelaku kejahatan, dan jika ia dimaafkan malah menjadi sebab terus-menerusnya pelaku kejahatan ini melakukan kejahatannya, maka tidak memaafkannya dalam kondisi ini tentu lebih utama, atau bahkan ketika demikian wajib kita untuk tidak memaafkannya.


[1] Shahih. HR. Al-Bukhari 5991.
[2] Shahih. HR. Muslim 2558.
[3] Shahih. HR. Abu Dawud 1672, 5109 dan An-Nasai 2566, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' 6021.

(Sumber: Makarimul Akhlaq oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar