13.2.11

Kenabian dan Kerasulan Berakhir dengan Kenabian dan Kerasulan Muhammad bin Abdillah Al-Hasyimi

Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA

Telah menjadi keyakinan yang asasi dalam Islam, bahwa Muhammad bin Abdillah adalah nabi sekaligus rasul terakhir. Maka sebagai bagian dari prinsip keimanan, tak ada tawar-menawar dalam perkara ini. Tidak ada pula kemungkinan bagi datangnya “kebenaran baru”, sebagaimana diistilahkan para pembela ajaran nabi palsu.
Merupakan aqidah yang paten, keyakinan yang kokoh melebihi kekokohan gunung-gunung yang tinggi menjulang, bahwa kenabian dan kerasulan telah ditutup dengan kenabian dan kerasulan Nabi kita Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muthalib Al-Hasyimi (dari Bani Hasyim) Al-Qurasyi (dari Quraisy) Al-Arabi (dari bangsa Arab), sehingga dialah Nabi dan Rasul terakhir.

Keyakinan demikian merupakan penegasan dari atas tujuh langit, dari Allah Rabb semesta alam, Yang menguasai kerajaan langit dan bumi serta dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)
Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Ini merupakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terbesar atas umat ini, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka. Sehingga mereka tidak lagi membutuhkan agama selain agama mereka. Tidak butuh pula kepada nabi selain Nabi mereka. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai penutup para Nabi serta Allah Subhanahu wa Ta’ala utus dia kepada manusia dan jin.
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
(خَاتَمَ النَّبِيِّينَ) artinya adalah penutup para Nabi. Demikian disebutkan oleh para mufassir -baik dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah maupun selainnya- seperti ditegaskan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya, Al-Qurthubi, Al-Baghawi, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Al-Khazin, An-Nasafi, Fakhruddin Ar-Razi, Az-Zamakhsyari, dan kalangan ahli tafsir selain mereka rahimahumullah. Tidak ada yang menyelisihi mereka kecuali orang-orang belakangan, dan yang tidak memahami bahasa Arab yang dengan bahasa ini Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan Al-Qur`an.
Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Ayat ini merupakan penegasan bahwa tiada nabi setelahnya. Dan bila tiada Nabi setelahnya, tentu lebih-lebih tiada rasul (setelahnya)… Dengan itulah datang keterangan berupa hadits-hadits yang mutawatir dari rasul.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 3/501)
Ya, Nabi kita yang mulia yang tidak berbicara dari hawa nafsunya melainkan dari wahyu yang diwahyukan kepadanya. Dialah ash-shadiqul mashduq, yang jujur lagi dibenarkan. Beliau telah menegaskan dalam hadits yang cukup banyak jumlahnya, bahkan sampai derajat mutawatir –sebagaimana penegasan Ibnu Katsir rahimahullahu di atas– bahwa kerasulan dan kenabian telah ditutup dengan kenabian dan kerasulan beliau. Sehingga beliaulah Nabi dan Rasul yang terakhir, tiada nabi dan rasul setelahnya.
Berikut ini sebagian hadits tersebut:
1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِابْنِ مَرْيَمَ، الْأَنْبِيَاءُ أَوْلادُ عَلَّاتٍ وَلَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ نَبِيٌّ. قَالَ: فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَثَلِي وَمَثَلُ الْأَنْبِيَاءِ كَمَثَلِ قَصْرٍ أُحْسِنَ بُنْيَانُهُ وَتُرِكَ مِنْهُ مَوْضِعُ لَبِنَةٍ فَطَافَ بِهِ نُظَّارٌ فَتَعَجَّبُوا مِنْ حُسْنِ بُنْيَانِهِ إِِلاَّ مَوْضِعَ تِلْكَ اللَّبِنَةِ لاَ يَعِيبُونَ غَيْرَهَا فَكُنْتُ أَنَا مَوْضِعَ تِلْكَ اللَّبِنَةِ خُتِمَ بِيَ الرُّسُلُ
“Aku adalah orang yang paling dekat dengan Ibnu Maryam. Para Nabi itu adalah anak-anak seibu, dan tidak ada nabi antara aku dan dia.” Kemudian Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan aku dengan para Nabi yang lain adalah bagaikan sebuah istana yang bangunannya diperindah lalu dibiarkan dari bangunan itu satu tempat untuk satu batu bata. Maka orang-orang yang memandangnya berkeliling sehingga merekapun terheran -heran dengan keindahan bangunannya, kecuali satu tempat batu bata tersebut. Mereka tidak mencacat selainnya. Maka akulah yang menduduki tempat batu bata tersebut, ditutup denganku para Rasul.” (HR. Ibnu Hibban, bab Dzikru Tamtsilil Mushthafa ma’al Anbiya` bil Qashril Mabni, 14/361)
Dalam lafadz Al-Bukhari dan Muslim (وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ) “Dan aku adalah penutup para Nabi.” (HR. Al-Bukhari Kitabul Manaqib, Bab Khataminnabiyyin; Muslim Kitabul Fadha`il, Bab Dzikru Kaunihi Khatamannabiyyin)
2. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ…
“Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi wafat maka diganti oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada Nabi setelahku, yang ada adalah para khalifah dan mereka semakin banyak….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Anbiya`, Bab Ma Dzukira ‘an Bani Isra`il, no. 3268; Muslim Kitabul Imarah Bab Wujubul Wafa` bi Bai’atil Khulafa` Al-Awwal fal Awwal)
3. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدِ انْقَطَعَتْ فَلَا رَسُولَ بَعْدِي وَلَا نَبِيَّ
“Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus sehingga tidak ada Rasul sepeninggalku dan tidak ada Nabi.” (HR. At-Tirmidzi 4/533 no. 2272, beliau berkata: “Hasan Shahih,” Kitab Ar-Ru`ya, Bab Dzahabatin Nubuwwah wa Baqiyat Al-Mubasyirat; Ahmad 3/267, Al-Hakim 4/433, beliau mengatakan: “Sanadnya shahih menurut syarat Muslim.”)
4. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فُضِّلْتُ عَلىَ الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ؛ أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْـخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ
“Aku diberi kelebihan atas para nabi dengan enam perkara, aku diberi jawami’ al-kalim (perkataan yang ringkas namun padat), aku diberi kemenangan dengan rasa takut dalam diri musuh, dihalalkan untukku rampasan perang, dijadikannya tanah untukku sebagai alat bersuci dan tempat shalat, serta aku diutus kepada makhluk seluruhnya, dan para nabi ditutup denganku.” (Shahih, HR. Muslim Kitabul Masajid wa Mawadhi’ Ash-Shalah)
Demikian beberapa hadits dari Nabi kita Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan masih terdapat banyak lagi hadits yang lain.
Para sahabat Nabi, orang-orang yang ridha terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Subhanahu wa Ta’ala-pun ridha terhadap mereka, juga bersepakat bahwa kenabian dan kerasulan telah ditutup dengan kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mereka serentak memerangi Musailamah Al-Kadzdzab dan nabi-nabi palsu yang lain di masa mereka.
Sehingga para ulama pun berjalan di atas jalur ini. Jalur keselamatan yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya, dan yang para sahabat beliau berjalan mengikutinya.
Berikut adalah beberapa kutipan pernyataan dari ulama tersebut:
# Seseorang mengaku nabi di masa Al-Imam Abu Hanifah rahimahullahu (wafat 150 H) dan mengatakan, ‘Beri aku waktu sehingga aku akan mendatangkan tanda-tandanya.” Maka Al-Imam Abu Hanifah rahimahullahu berkata: “Barangsiapa meminta tanda dari orang itu maka dia telah kafir, berdasarkan sabda Nabi: ‘Tiada Nabi setelahku’.”
# Ath-Thahawi rahimahullahu (wafat 321 H) berkata dalam bukunya Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah: “Dan bahwa beliau (Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah penutup para Nabi, imam orang-orang yang bertaqwa, pemimpin para Rasul, kekasih Rabbul alamin. Dan seluruh pengakuan kenabian setelahnya adalah kesesatan dan hawa nafsu.”
# Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullahu (wafat 456 H) berkata: “Sesungguhnya wahyu telah terputus semenjak wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai bukti akan hal itu adalah bahwa wahyu tidak diberikan kecuali kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40) [Al-Muhalla, 1/26]
# Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengakui adanya kenabian pada seseorang bersamaan dengan Nabi kita atau setelahnya, semacam kelompok ‘Isawiyyah dari kalangan Yahudi yang menganggap bahwa kerasulan Muhammad hanya kepada orang Arab, atau seperti kelompok Al-Khurramiyyah yang beranggapan bahwa para rasul itu terus berkesinambungan, maka mereka semuanya itu adalah kafir, tidak memercayai Nabi (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ia adalah penutup para Nabi dan tiada Nabi setelahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dan bahwa ia diutus kepada manusia seluruhnya. Umat pun bersepakat (ijma’) bahwa pernyataan ini dipahami apa adanya, dan apa yang terpahami darinya itulah yang dimaukan, tanpa perlu diselewengkan atau di-takhshish. Maka tidak diragukan akan kafirnya mereka secara pasti, dengan kekafiran yang disepakati dan berdasarkan dalil.” (Asy-Syifa`)
# Ulama-ulama besar di India pada abad 12 H menuangkan dalam fatwa mereka: “Bila seseorang tidak mengetahui bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai akhir para Nabi maka dia bukan seorang muslim. Seandainya dia mengatakan ‘Aku adalah rasul Allah’ atau dengan bahasa Persia (yang artinya) ‘Aku adalah Nabi’, dan ia maksudkan ‘Aku datang dengan kerasulan’ maka dia kafir.” (Al-Fatawa Al-Alamkiriyyah, 2/263)
Penyelewengan Ahmadiyah terhadap Makna Ayat
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang shahih bahkan mutawatir demikian tegas dan secara pasti menunjukkan bahwa tiada Nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun demikian, orang-orang Ahmadiyah tetap berusaha menakwilkan, menyelewengkan dari makna aslinya, agar dapat menemukan celah bagi mereka untuk melegitimasi aqidah sesat mereka, sehingga dengan mudah dapat mengelabui masyarakat awam. Di antara bentuk penyelewengan makna ayat adalah:
1. Mereka mengartikan (خَاتَمَ النَّبِيِّينَ) yang berarti penutup atau akhir para Nabi dengan makna (أَفْضَلُ النَّبِيِّينَ) yang paling utama dari para Nabi.
2. Atau mengartikannya dengan mahar para Nabi.
3. Kata (النَّبِيِّينَ) yang berarti para Nabi yakni seluruhnya, mereka artikan dengan sebagian para Nabi.
Dengan penyelewengan makna ayat tersebut, tentu ayat tersebut bukan lagi merupakan nash yang tidak menerima tawar-menawar dalam hal berakhirnya kenabian dan kerasulan dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Untuk itu sangat perlu dilakukan pencerahan, agar manipulasi makna ayat tersebut terkuak, sehingga ayat tetap diartikan dengan makna yang sesungguhnya.
Adapun penyelewengan yang pertama, yaitu pengartian (خَاتَمُ النَّبِيِّينَ) dengan arti yang paling utama dari para nabi. Perlu diketahui bahwa pengartian tersebut sama sekali tidak didukung oleh bahasa Arab yang Al-Qur`an turun dengannya. Di mana tidak satupun para pakar bahasa Arab dan para ahli tafsir yang mengartikannya semacam pengartian mereka. Sebagai contoh:
# Dalam Majma’ Biharil Anwar, penulisnya Muhammad bin Thahir Al-Hindi mengatakan: Al-Khatim (dengan kasrah huruf ta’) dan Al-Khatam (dengan fathah huruf ta’) keduanya adalah termasuk Nama Nabi (Muhammad bin Abdillah). Yang dengan fathah berarti isim (artinya, yang terakhir dari para Nabi). Adapun yang dengan kasrah berarti isim fa’il (artinya, yang mengakhiri para nabi).
# Az-Zabidi dalam kamus Tajul ‘Arus mengatakan: “Di antara nama-nama Nabi adalah Al-Khatim dan Al-Khatam, artinya yang menutup kenabian dengan kedatangannya.”
# Ibnu Faris mengatakan: “(Kata kerja) Kha-ta-ma, artinya mencapai akhir sesuatu. Dan Nabi itu (disebut) Khatimul anbiya, karena beliau adalah akhir para Nabi.”
Penjelasan semakna disebutkan juga oleh ahli bahasa yang lain, semisal Raghib Al-Ashfahani, Al-Jauhari, Abul Baqa’, dan Al-Fairuzabadi.
Seorang ulama Pakistan terkemuka, Prof. Ihsan Ilahi Zhahir mengatakan setelah menukilkan ucapan para ahli bahasa tersebut: “Inilah yang dikatakan para imam dalam bahasa Arab, orang-orang yang ahli di bidangnya. Kami nukilkan dari kamus-kamus yang terpenting dalam bahasa Arab, dan masing-masing menyebutkan bahwa makna khatam adalah akhir. Sehingga saya tidak mengerti bagaimana orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab sedikitpun menganggap bahwa makna Khatam bukanlah akhir, namun maknanya adalah yang paling utama. Kemudian dengan makna (penutup) ini juga para imam tafsir menafsirkannya.”
Lalu beliau mengutip tafsir mereka, yang telah kami sebut nama-nama sebagian mereka pada halaman yang telah lewat.
Di samping penafsiran ala Ahmadiyah tersebut tidak sejalan dengan bahasa Arab, tentu juga tidak sesuai dengan kandungan ayat Al-Qur`an yang lain serta tidak sesuai dengan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mutawatir, serta menyelisihi ijma’ para sahabat dan para imam setelah mereka.
Adapun penyelewengan yang kedua, di mana Khatam diartikan mahar, mahar para nabi. Menurut mereka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi mahar kepada orang-orang, yang dengan mahar itu seseorang bisa menjadi nabi.
Tentang hal ini Asy-Syaikh Prof. Ihsan Ilahi Zhahir mengatakan: “Tidak lain ini adalah omongan rendahan, (pengartian yang) tidak dikenali oleh orang Arab… Tidak pernah didengar oleh bangsa Arab dan tidak didapati dalam bahasa-bahasa mereka, bahkan sampaipun dalam bahasa-bahasa lain.”
Adapun penyelewengan yang ketiga, yakni ‘para nabi’ diartikan oleh mereka dengan ‘sebagian para nabi’ sehingga arti ayat tersebut menjadi ‘penutup sebagian dari para nabi’, yakni nabi yang memiliki syariat tersendiri (ash-habusy-syari’ah). Yang mereka maukan adalah Nabi yang tidak memiliki syariat tersendiri, namun menginduk kepada Nabi yang sebelumnya (Nabiyyun Muttabi’). Kesempatan munculnya Nabi yang seperti ini belum ditutup, bahkan masih terbuka.
Menanggapi syubhat ini, Asy-Syaikh Prof. Ihsan Ilahi Zhahir mengatakan: “Ucapan mereka bahwa yang dimaksud dengan kata ‘para Nabi’ (dalam ayat) adalah para Nabi yang memiliki syariat tersendiri, adalah ucapan yang batil, tidak berdasarkan dalil. Karena (pada ayat tersebut) Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membedakan antara para Nabi yang membawa syariat tersendiri dengan yang tidak membawa syariat tersendiri. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya mengatakan ‘Nabiyyin’ artinya ‘para Nabi’ dengan bentuk kata yang umum dan mutlak. Dan yang dikenal dalam ilmu ushul bahwa sebuah kata dalam bentuk yang umum maka berlaku sesuai keumumannya, dan yang dalam bentuk mutlak maka berlaku sesuai kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkan atau mengikatnya. Dan dalam hal ini tidak terdapat suatu indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam ayat adalah nabi-nabi tertentu. Berbeda dengan nash-nash shahih yang justru menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah kenabian secara umum, sebagaimana yang telah lewat.
Andaipun ayat dipahami menurut versi mereka yakni dalam tafsir yang menyeleweng, yakni ‘penutup nabi-nabi yang membawa syariat tersendiri’, pada kenyataannya mereka tetap menyalahinya. Karena Mirza Ghulam Ahmad mengaku bahwa dirinya adalah Shahibusy-syari’ah, pemilik syariat tersendiri sebagaimana dalam buku Arba’in karya Ghulam no. 4 hal. 7.” (dinukil dari Al-Qadiyaniyyah wa ‘Aqa`iduha, hal. 337)
Walaupun di saat yang lain ia juga mengaku bahwa dirinya hanya menginduk kepada syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat pembahasan: Sekilas Tentang Sejarah Munculnya Ahmadiyah)
Ya, begitulah. Plin-plan, bahkan dusta. Karena kenyataannya ajaran yang Mirza Ghulam Ahmad bawa sangat bertolak belakang dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal yang semacam ini menjadi ciri khas nabi palsu. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar